Rabu, 27 Juni 2012

Ketidakadilan Gender Sebagai Akibat dari Pemberian Stereotype









Sterotype, pernah denger kata-kata ini?

Untuk sebagian orang mungkin sering mendengar kata-kata stereotype atau bahkan menggunakan kata tersebut, stereotype merupakan belief tentang  karakteristik dari anggota kelompok tertentu.  Stereotype adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut. Sebenarnya stereotype bisa berdampak positif juga bisa berampak negative.

Stereotype merupakan dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi. Meski merupakan sebuah dasar dari prasangka dan diskriminasi namun tidak selalu stereotype dapat menampilkan prasangka dan diskriminasi.

Sedangkan prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditunjukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok, yang berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok, dengak kata lain jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang yang lain, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompoknya, bukan pada karakteristk yang dimiliki orang tersebut misalnya kepribadian, masa lalu, atau kebiasaan negatifnya. Dan jika prasangka tampil menjadi suatu perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminasi.

Karena stereotype erat sekali hubungannya dengan prasangka dan diskriminasi, kali ini saya tertarik untuk membahas mengenai “ketidak adilan gender akibat dari stereotipe”

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih sering dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan.

Namun jika perbedaan gender itu menimbulkan suatu permasalahan dan merugikan disalah satu pihak maka sudah seharusnya perbedaan gender itu harus ditekan agar tidak ada kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil dan merasa dirugikan.

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.

Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.

Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.

Contoh :

Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
Perempuan tidak rasional, emosional.
Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di dalam rumah tangga.
Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
Pelecehan seksual.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.

Selain dapat menimbulkan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki, stereotype mengenai perempuan juga dapat menyebabkan terpuruknya perempuan dalam berkarir, meskipun dewasa ini banyak dalam berumah tangga yang istri dan suaminya memiliki pekerjaan namun tetap saja, istri cenderung memiliki pekerjaan yang hanya sebagai “pekerjaan kedua” atau hanya sebagai pekerjaan sampingan. Karena tugasnya dalam mengurus rumah tangga, perempuan dituntut memiliki pekerjaan yang tidak menguras waktunya terlalu banyak, akibatnya pekerjaan yang dimiliki perempuan tidak sesuai atau kutang dari kompetensi yang dimiliki perempuan itu.

Contoh seorang perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan berkompeten untuk bekerja disebuah perusahaan, ketika menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki pekerjaan cukup baik, suaminya itu meminta kepada istrinya untuk lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, mengurus rumah, anak dan juga dirinya, karena baginya perempuan memang lebih baik menjadi ibu rumah tangga dan mengurus segala keperluannya dirumah, seandainya sang istri bekerja, maka pekerjaan istrinya tidak boleh melebihi pekerjaan suaminya karena dia menganggap bahwa sudah tugasnya untuk mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarganya.
Istrinya pun menuruti sang suami, dia mencari pekerjaan yang lebih “santai” dan tidak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah, padahal dia memiliki kompetensi yang lebih dari pekerjaannya sekarang.

Dari contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa terjadinya prasangka istri tidak boleh memiliki pekerjaan yang melebihi pekerjaan suami dan suami yang tugasnya mencari nafkah untuk keluarga dan mengakibatkan diskriminasi yang menyebabkan isti tersebut tidak mengambil pekerjaan yang lebih sesuai dengan kompetensinya karena harus mengurus rumah tangganya.

Demikian dampak-dampak yang dapat kita lihat dari strereotype yang mengakibatkan ketidakadilan gender.

Ketidakadilan Gender Sebagai Akibat dari Pemberian Stereotype










Sterotype, pernah denger kata-kata ini?

Untuk sebagian orang mungkin sering mendengar kata-kata stereotype atau bahkan menggunakan kata tersebut, stereotype merupakan belief tentang  karakteristik dari anggota kelompok tertentu.  Stereotype adalah kerangka kognitif yang berisi pengetahuan dan belief tentang kelompok sosial tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu tersebut. Sebenarnya stereotype bisa berdampak positif juga bisa berampak negative.

Stereotype merupakan dasar dari munculnya prasangka dan diskriminasi. Meski merupakan sebuah dasar dari prasangka dan diskriminasi namun tidak selalu stereotype dapat menampilkan prasangka dan diskriminasi.

Sedangkan prasangka adalah sebuah sikap (biasanya bersifat negatif) yang ditunjukan bagi anggota-anggota beberapa kelompok, yang berdasarkan pada keanggotaannya dalam kelompok, dengak kata lain jika seseorang memiliki prasangka pada seseorang yang lain, maka prasangka yang muncul didasarkan pada keanggotaan orang tersebut pada sebuah kelompoknya, bukan pada karakteristk yang dimiliki orang tersebut misalnya kepribadian, masa lalu, atau kebiasaan negatifnya. Dan jika prasangka tampil menjadi suatu perilaku yang dapat dilihat, maka kita mendefinisikannya sebagai diskriminasi.

Karena stereotype erat sekali hubungannya dengan prasangka dan diskriminasi, kali ini saya tertarik untuk membahas mengenai “ketidak adilan gender akibat dari stereotipe”

Perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki dan perempuan atau yang lebih sering dikenal dengan perbedaan gender yang terjadi di masyarakat tidak menjadi suatu permasalahan sepanjang perbedaan tersebut tidak mengakibatkan diskriminasi atau ketidak adilan.

Namun jika perbedaan gender itu menimbulkan suatu permasalahan dan merugikan disalah satu pihak maka sudah seharusnya perbedaan gender itu harus ditekan agar tidak ada kelompok yang merasa diperlakukan tidak adil dan merasa dirugikan.

Semua bentuk ketidakadilan gender diatas sebenarnya berpangkal pada satu sumber kekeliruan yang sama, yaitu stereotype gender laki-laki dan perempuan.

Stereotype itu sendiri berarti pemberian citra baku atau label/cap kepada seseorang atau kelompok yang didasarkan pada suatu anggapan yang salah atau sesat.
Pelabelan umumnya dilakukan dalam dua hubungan atau lebih dan seringkali digunakan sebagai alasan untuk membenarkan suatu tindakan dari satu kelompok atas kelompok lainnya.

Pelabelan juga menunjukkan adanya relasi kekuasaan yang timpang atau tidak seimbang  yang bertujuan untuk menaklukkan atau menguasai pihak lain.
Pelabelan negative juga dapat dilakukan atas dasar anggapan gender. Namun seringkali pelabelan negative ditimpakan kepada perempuan.

Contoh :

Perempuan dianggap cengeng, suka digoda.
Perempuan tidak rasional, emosional.
Perempuan tidak bisa mengambil keputusan penting.
Perempuan sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah tambahan.
Laki-laki sebagai pencari nafkah utama.

Peran gender telah membedakan karakter perempuan dan laki-laki. Perempuan dianggap feminism dan laki-laki maskulin. Karakter ini kemudian mewujud dalam ciri-ciri psikologis, seperti laki-laki dianggap gagah, kuat, berani dan sebagainya. Sebaliknya perempuan dianggap lembut, lemah, penurut dan sebagainya.

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan pembedaan itu. Namun ternyata pembedaan karakter tersebut melahirkan tindakan kekerasan. Dengan anggapan bahwa perempuan itu lemah, itu diartikan sebagai alasan untuk diperlakukan semena-mena, berupa tindakan kekerasan.

Contoh :

Kekerasan fisik maupun non fisik yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya di dalam rumah tangga.
Pemukulan, penyiksaan dan perkosaan yang mengakibatkan perasaan tersiksa dan tertekan.
Pelecehan seksual.
Eksploitasi seks terhadap perempuan dan pornografi.

Selain dapat menimbulkan kekerasan yang dilakukan oleh laki-laki, stereotype mengenai perempuan juga dapat menyebabkan terpuruknya perempuan dalam berkarir, meskipun dewasa ini banyak dalam berumah tangga yang istri dan suaminya memiliki pekerjaan namun tetap saja, istri cenderung memiliki pekerjaan yang hanya sebagai “pekerjaan kedua” atau hanya sebagai pekerjaan sampingan. Karena tugasnya dalam mengurus rumah tangga, perempuan dituntut memiliki pekerjaan yang tidak menguras waktunya terlalu banyak, akibatnya pekerjaan yang dimiliki perempuan tidak sesuai atau kutang dari kompetensi yang dimiliki perempuan itu.

Contoh seorang perempuan yang memiliki pendidikan tinggi dan berkompeten untuk bekerja disebuah perusahaan, ketika menikah dengan seorang laki-laki yang memiliki pekerjaan cukup baik, suaminya itu meminta kepada istrinya untuk lebih banyak menghabiskan waktu dirumah, mengurus rumah, anak dan juga dirinya, karena baginya perempuan memang lebih baik menjadi ibu rumah tangga dan mengurus segala keperluannya dirumah, seandainya sang istri bekerja, maka pekerjaan istrinya tidak boleh melebihi pekerjaan suaminya karena dia menganggap bahwa sudah tugasnya untuk mencari nafkah dan menjadi tulang punggung keluarganya.
Istrinya pun menuruti sang suami, dia mencari pekerjaan yang lebih “santai” dan tidak menghabiskan waktunya untuk mengurus rumah, padahal dia memiliki kompetensi yang lebih dari pekerjaannya sekarang.

Dari contoh diatas dapat kita simpulkan bahwa terjadinya prasangka istri tidak boleh memiliki pekerjaan yang melebihi pekerjaan suami dan suami yang tugasnya mencari nafkah untuk keluarga dan mengakibatkan diskriminasi yang menyebabkan isti tersebut tidak mengambil pekerjaan yang lebih sesuai dengan kompetensinya karena harus mengurus rumah tangganya.

Demikian dampak-dampak yang dapat kita lihat dari strereotype yang mengakibatkan ketidakadilan gender.